Rabu, 28 September 2016

GORONTALONOLOGI
Nelson Pomalingo & Fendi Adiatmono

Ditulis 2004-2016 bersama Prof Nelson Pomalingo
Penerbit Deepublish
Tahun 2016


Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, karena apa yang dipakai manusia, adalah hasil dari pengembangan ilmu yang melahirkan teknologi yang didalamnya bersentuhan dengan nilai keindahan (seni).  Manusia lahir, hidup dan dibesarkan bersinergi dengan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.


Ditulis di Oegstgeest Leiden Netherlands 2008-2009
SAWERIGADING: La Galigo di tanah asing
Fendi Adiatmono

WARISAN DUNIA

            Pertama kali tiba di Belanda, rambut panjang ini membantu dalam meredam udara dingin di negeri itu.  Saat suhu mulai turun, rambut dapat dililit pada telinga, berfungsi sebagai selimut hidup, meski hanya mampu menahan hingga menemukan mesin pemanas. Tiap hari mengayuh sepeda, berangkat pagi pukul 08.00, tusukan dingin hingga membuat telinga sakit. Sepatu buatan Indonesia tidak dapat meredam musim dingin di sana, jari kaki bak di rendam pada bongkahan es. Seminggu tiga kali menyempatkan diri ke Perpustakaan KITLV Leiden. Perpustakaan itu dikenal di kalangan akademisi di seluruh dunia, karena kekayaan data di dalamnya. Pada tahun 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en Vokenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) yang berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk selamanya.
            Sedih mendengarnya, perpustakaan itu usianya sudah 179 tahun. Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satupun risalah akademis yang bermutu mengenai Indonesia, lebih-lebih lagi disertasi doktor, yang tidak mencantumkan ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden dalam halaman penghargaan (acknowledgement). KITLV Leiden berganti kepemilikan, dan telah diambil alih Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), letaknya cuma 30 meter dari KITLV.
            Ingatan melambung terlempar pada abad-13, Abad itu pada masa kini menjadi pembuka mata  dunia, Betapa tidak, Naskah itu adalah epos terpanjang di dunia, dan satu-satunya di dunia. Bahkan epos sekelas Mahabarata dari Indiapun tak bisa menyamai. Kini UNESCO telah menjadikan naskah itu, sebagai warisan terpanjang di dunia.
            Seiring dengan yang lain naskah La Galigo, yang disimpan di Galigo Museum La di Makassar, naskah Leiden kini disertakan pada 'Memory of the World' Warisan Dunia oleh UNESCO. Dokumenter warisan disampaikan oleh Indonesia dan Belanda dan direkomendasikan untuk dimasukkan dalam Memory of the World Register pada tahun 2011.
            La Galigo adalah teks puitis diatur dalam meter ketat dan menggunakan kosa kata Bugis tertentu. bahasanya dianggap indah dan sulit. Karya ini juga dikenal dengan nama Sureq Galigo. Berasal dari sekitar abad ke-14 dan dengan asal-usulnya dalam tradisi lisan, isinya adalah pra-Islam dan yang bersifat epik-mitologis berkualitas sastra tinggi. Ukuran keseluruhan karya sangat besar (diperkirakan 6000 halaman folio) dan dapat dianggap sebagai karya sastra yang paling produktif di dunia
            Roger Tol, direktur KITLV Jakarta, mantan wakil kurator di Universitas Leiden, telah bertahun-tahun terlibat dalam kegiatan La Galigo. Bekerja sama dengan Dr Mukhlis Paeni, maka Direktur Jenderal Arsip Nasional Indonesia dan ahli dalam bidang sastra Bugis, ia telah dikemukakan baik Leiden dan manuskrip Makassar La Galigo untuk dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia (dalam Memory Of The World Register La Galigo Indonesia and The Netherlands yang beregister Ref N° 2010-64)


EPIK MITOS DALAM BAHASA BUGIS.

            Salah satu karya terbesar di dunia warisan sastra, epik mitos yang dikenal sebagai 'La Galigo "ditulis dalam bahasa Bugis dan script dan berasal di Sulawesi Selatan (Indonesia). Mayoritas naskah La Galigo yang telah diawetkan, berlokasi di Indonesia dan Belanda. Di Leiden University adalah salah satu manuskrip yang paling berharga yang diawetkan sebagai bagian dari Koleksi Khusus.
            KITLV Leiden menyimpan naskah yang terdiri dari dua belas bagian dan termasuk bagian pertama dari puisi epik Bugis yang komprehensif, suatu fragmen terpanjang di dunia. Di Makassar ditulis kembali atas permintaan teolog dan ahli bahasa Benjamin Frederik Matthes (1818-1908). Matthes pada tahun 1847 seorang ahli manuskrip Belanda belajar bahasa Bugis dan Makassarees untuk menerjemahkan La Galigo. Sebelumnya epic itu ditulis oleh Colliq Pujie (Retna Kencana Colliq PujiĆ© Arung Pancana Toa), Permaisuri dari Tanete, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Naskah itu merupakan bagian dari koleksi naskah Indonesia dan Belanda, yang terdaftar di Perpustakaan Universitas Leiden sebagai pinjaman permanen di tahun 1905-1991.
            Membuka teks La Galigo, maka tengkuk agak merinding. Karya tulis buatan manusia ini berusia tua, berwarnanya biru dan krem, sebagian penuh dengan coretan tangan penerjemah. Retna Kencana Colliq PujiĆ© Arung Pancana Toa, seorang intelektual wanita Bugis yang hidup pada pertengahan abad ke-19 M telah menuliskan kembali naskah ini, jika tidak, maka La Galigo tidak dapat dikenal oleh dunia sampai akhirnya Unesco mengukuhkannya sebagai Memory of the World tanpa beliau. Berkat salinan tangannya La Galigo bisa bertahta dan bersemayam dalam lelapnya long sleep selama hampir 200 tahun di Leiden Belanda. Tanpa tersentuh, karena sulitnya membaca huruf tua dan bahasa Bugis kuno yang terdapat di dalamnya, bersamaan generasi muda etnik Bugis yang telah meninggalkan tradisi menulis dan membaca lontaraq transmisi La Galigo.
            Etnik Sulawesi mempunyai daya imajinasi  yang kuat. Fantasi mereka, menggabungkan unsur yang ada di alam, manusia, dan Tuhan. Sesekali mereka menyelipkan kisah cinta yang agung dengan Tuhan. Tak jarang etnik itu juga mempunyai kisah cinta yang mendalam. Kisah cinta antar suku, jarak yang jauh untuk berjumpa hingga kesetiaan yang ditampilkan melalui kisah perjalanan menjemput wanita pujaan hati. Perihal kepahlawanan selalu terselip di antara kisah epos. Wajar, etnik Sulawesi adalah suku pemberani, disegani dan mengilhami jiwa kestria. Maka, mereka berperan besar dalam penyatuan Nusantara.
            La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan dunia, merupakan hasil penulisan berisi tangkapan makna perjalanan hidup Sureq Galigo yang imajiner. Untuk membaca manuskrip itu, pemerintah Netherlands menyiapkan beberapa petugas. Naskah dikeluarkan satu persatu dengan perlahan untuk dipersilakan membaca. Mereka menyiapkan bantal putih, lalu meletakkan perlahan.  Untuk membuka halamannya, petugas itu yang mengerjakan, sehingga mempermudah kita agar tidak terjadi kerusakan. Perpustakaan itu terletak di bawah sungai, suhu pada kamarnya juga telah di atur sehingga dapat memastikan bakteri tidak menyerang manuskrip yang disimpan. Sepasang mata menyorot di tiap gerakan apapun yang dilakukan.
            Jennifer W. Nourse, Parreanom, dan Barru menjelaskan pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi. Usia yang tua dan pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini merupakan epos terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang epos agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan Odyssey yang hanya terdiri dari 16 ribu baris. Penyebarannya melaui tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur.

LA GALIGO
           
            Galigo diperkirakan lahir pada abad awal Masehi hingga abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan rumpun bahasa Austronesia. Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara jauh, terutama Belanda. Lalu, masuk ke perpustakaan Washington DC, pada abad ke-19 karya Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.
            Struktur Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologi yang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis.
            Epos La Galigo merupakan karya sastra yang terpanjang di karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama La Patiganna. Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos. Namun, La Galigo tetap dapat memberikan gambaran mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Perancis, dan Amerika tahun 2004. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang positif The New York Times dan masyarakat.
            La Galigo dan Machiavelli menarik didalami dan dibandingkan pikiran antara keduanya. La Galigo penulis sastra dari Sulawesi Selatan, hidup sebelum abad ke-14. La Galigo pujangga Bugis, hidup kira-kira hampir satu jaman dengan Machiavelli, ahli politik dari Italia. Dibanding ahli politik Eropa tadi, justru konsep tentang demokrasi telah lebih dahulu dikenal melalui konsep La Galigo, yang hidup di masa kejayaan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Luwuk. La Galigo mencatat bahwa yang tertinggi dalam kekuasaan yaitu adat (hukum), sedangkan penguasa itu hanya pelaksana hukum. Hukum/adat ini menyebabkan seorang anak raja tidak otomatis menjadi raja. Dan memang sistem demokrasi itulah yang diterapkan kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan sejak sebelum abad ke-14. Bandingkan dengan ajaran Machiavelli (di antaranya diterapkan Napoleon), bahwa kekuasaan itu mesti dipertahankan dengan menggunakan dana dan senjata, yang mirip dengan prinsip kediktatoran.
            Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal berlabuh. Pusat pemerintahanpun yang terdiri dari istana dan rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang asing. Intinya laut menjadi media yang sangat penting untuk berhubungan antar-kerajaan.
            La Galigo merambah Gorontalo, diungkapkan pada motif ornamen. Ornamen itu diyakini mengandung makna oleh etnik Gorontalo, yang berujud payung, bintang, matahari dan bulan. W. Schmidt menceritakan mitos di Indonesia terutama wilayah Sulawesi, sebagai motif kosmos (benda alam raya). Motif yang mengambil ide bentuk benda alam itu, di jumpai pada beberapa ornamen rumah tradisional. H. E. E. Hayes menjelaskan, bulan sabit untuk kaum muslim merupakan pembakar semangat. Pejuang Aceh menggunakan bulan sabit untuk berperang. Namun, bulan sabit dan bintang sesungguhnya bukan bagian daripada Islam dan bukan lambang Islam. Keduanya berasal dari kepercayaan paganisme. Simbol itu digunakan sebagai lambang pasukan Islam yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi dalam perang salib pada abad ke-12 dan digunakan di masa Usmaniyah atau Ottoman di Turki pada abad ke-18.
La Galigo
Sumber KITLV Leiden

            Pada epos itu diceritakan bahwa hutan Sulawesi merupakan surga berkembang-biaknya populasi babirusa (Babyrousa) dan burung maleo (Macrocephalon). Adanya pohon rao (Dracontomelon dao) yang terus menghijaukan hutan dengan spesies yang tak terdapat dibelahan bumi manapun seperti monyet hantu (Tarsius tarsier). Makna burung motif maleo (Macrocephalon) yang bertengger, merupakan sesuatu yang menyenangkan, simbol pengharapan suatu kesejahteraan bagi penghuni rumahnya. Pengaruh mitos etnik Bugis di Gorontalo, dijelaskan Nourse, melalui makna burung maleo yang telah menginspirasi pembuatan motif ornamen rumah. Maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir musim hujan menjelang musim panen padi. Telur itu perlambang penting kesuburan dan kesehatan. Namun, cara burung meletakkan telurnya juga tak kalah penting maknanya. Burung maleo hidup di dua alam, laut dan darat, mewakili penyatuan laut dan darat yang dibutuhkan untuk kesuburan padi.

*Sumber: Sebagian hasil riset Disertasi penulis.


Fendi Adiatmono
Lahir dan besar di perbukitan terpencil, kawasan Menoreh Kulon Progo Jogjakarta pada 18 Juli 1972. Mengenyam pendidikan S1-S2 di ISI Yogyakarta, lalu menimba keilmuan Kajian Seni S3 di UGM dan pada tahun 2008-2009 menimba keilmuan di Leiden University Netherlands. Lalu pada level yang sama PhD Arts  di Asia University Malaysia. Seorang Dosen PNS di Universitas Negeri Gorontalo 2002-2016, sebagai Pengajar Seni pada Fakultas Teknik. Pernah mengajar selama satu tahun di Esa Unggul University bidang Kreatifitas. Aktif menulis buku ilmiah seni dan budaya (Sembilan judul), Menulis Riset, Mencipta Paten dan aktif berpameran Seni Kriya (Logam, Batu, Kayu dan Batik) di Dalam dan Luar Negeri. Karya yang ditulis di Netherlands adalah Weeskamer.

Data Gambar

Sumber: KITLV Leiden


Gambar Retna Kencana Colliq PujiƩ Arung Pancana Toa Aisyah sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua I La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan yaitu Goa, Tallo, Bone.
Sumber: Tropenmuseum Amsterdam