Ditulis di Oegstgeest
Leiden Netherlands 2008-2009
SAWERIGADING: La
Galigo di tanah asing
Fendi Adiatmono
WARISAN DUNIA
Pertama
kali tiba di Belanda, rambut panjang ini membantu dalam meredam udara dingin di
negeri itu. Saat suhu mulai turun, rambut dapat
dililit pada telinga, berfungsi sebagai selimut hidup, meski hanya mampu
menahan hingga menemukan mesin pemanas. Tiap
hari mengayuh sepeda, berangkat pagi pukul 08.00, tusukan dingin hingga membuat
telinga sakit. Sepatu buatan Indonesia tidak dapat meredam musim dingin di
sana, jari kaki bak di rendam pada bongkahan es. Seminggu tiga kali menyempatkan diri ke
Perpustakaan KITLV Leiden. Perpustakaan itu dikenal di kalangan akademisi di
seluruh dunia, karena kekayaan data di dalamnya. Pada tahun 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en
Vokenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan
Karibia) yang berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk
selamanya.
Sedih
mendengarnya, perpustakaan
itu usianya sudah 179 tahun. Agaknya
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satupun risalah akademis yang bermutu
mengenai Indonesia, lebih-lebih lagi disertasi doktor, yang tidak mencantumkan
ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden dalam halaman
penghargaan (acknowledgement). KITLV
Leiden berganti kepemilikan, dan telah diambil alih Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), letaknya cuma 30 meter
dari KITLV.
Ingatan
melambung terlempar pada abad-13, Abad
itu pada masa kini menjadi pembuka mata dunia, Betapa tidak, Naskah itu adalah epos terpanjang di
dunia, dan satu-satunya di dunia. Bahkan epos sekelas Mahabarata dari Indiapun
tak bisa menyamai. Kini
UNESCO telah menjadikan naskah itu, sebagai warisan terpanjang di dunia.
Seiring dengan
yang lain naskah La Galigo, yang disimpan di Galigo Museum La di Makassar,
naskah Leiden kini disertakan pada 'Memory of the World' Warisan Dunia oleh
UNESCO. Dokumenter
warisan disampaikan oleh Indonesia dan Belanda dan direkomendasikan untuk
dimasukkan dalam Memory of the World Register pada tahun 2011.
La Galigo
adalah teks puitis diatur dalam meter ketat dan menggunakan kosa kata Bugis
tertentu. bahasanya dianggap indah dan sulit. Karya ini juga dikenal dengan
nama Sureq Galigo. Berasal dari sekitar abad ke-14 dan dengan asal-usulnya
dalam tradisi lisan, isinya adalah pra-Islam dan yang bersifat epik-mitologis
berkualitas sastra tinggi. Ukuran keseluruhan karya sangat besar (diperkirakan
6000 halaman folio) dan dapat dianggap sebagai karya sastra yang paling
produktif di dunia
Roger
Tol, direktur KITLV Jakarta, mantan wakil kurator di Universitas Leiden, telah
bertahun-tahun terlibat dalam kegiatan La Galigo. Bekerja sama dengan Dr
Mukhlis Paeni, maka Direktur Jenderal Arsip Nasional Indonesia dan ahli dalam
bidang sastra Bugis, ia telah dikemukakan baik Leiden dan manuskrip Makassar La
Galigo untuk dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia (dalam Memory Of The World Register La Galigo Indonesia and The Netherlands yang beregister Ref N° 2010-64)
EPIK MITOS DALAM BAHASA BUGIS.
Salah
satu karya terbesar di dunia warisan sastra, epik mitos yang dikenal sebagai
'La Galigo "ditulis dalam bahasa Bugis dan script dan berasal di Sulawesi
Selatan (Indonesia). Mayoritas naskah La Galigo yang telah diawetkan, berlokasi
di Indonesia dan Belanda. Di Leiden University adalah salah satu manuskrip yang
paling berharga yang diawetkan sebagai bagian dari Koleksi Khusus.
KITLV Leiden menyimpan naskah
yang terdiri
dari dua belas bagian dan termasuk bagian pertama dari puisi epik Bugis yang
komprehensif, suatu
fragmen terpanjang di dunia. Di
Makassar ditulis kembali atas
permintaan teolog dan ahli bahasa Benjamin Frederik Matthes (1818-1908).
Matthes pada tahun 1847 seorang ahli
manuskrip Belanda belajar bahasa Bugis
dan Makassarees untuk menerjemahkan La Galigo. Sebelumnya epic itu ditulis
oleh Colliq Pujie (Retna Kencana Colliq
Pujié Arung Pancana Toa), Permaisuri
dari Tanete, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Naskah itu merupakan
bagian dari koleksi naskah Indonesia dan Belanda, yang terdaftar di
Perpustakaan Universitas Leiden sebagai pinjaman permanen di tahun 1905-1991.
Membuka
teks La Galigo, maka tengkuk agak
merinding. Karya
tulis buatan manusia ini berusia tua, berwarnanya biru dan krem, sebagian penuh dengan coretan tangan penerjemah.
Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa, seorang intelektual wanita Bugis
yang hidup pada pertengahan abad ke-19 M telah menuliskan kembali naskah ini,
jika tidak, maka La Galigo tidak
dapat dikenal oleh dunia sampai akhirnya Unesco mengukuhkannya sebagai Memory of the World tanpa beliau. Berkat
salinan tangannya La Galigo bisa
bertahta dan bersemayam dalam lelapnya long sleep selama
hampir 200 tahun di Leiden Belanda. Tanpa tersentuh, karena sulitnya membaca
huruf tua dan bahasa Bugis kuno yang terdapat di dalamnya, bersamaan
generasi muda etnik Bugis yang telah
meninggalkan tradisi menulis dan membaca lontaraq
transmisi La
Galigo.
Etnik
Sulawesi mempunyai daya imajinasi yang kuat. Fantasi mereka, menggabungkan unsur
yang ada di alam, manusia, dan Tuhan. Sesekali
mereka menyelipkan kisah cinta yang agung dengan Tuhan. Tak jarang etnik itu juga mempunyai
kisah cinta yang mendalam. Kisah
cinta antar suku, jarak yang jauh untuk berjumpa hingga kesetiaan yang ditampilkan
melalui kisah perjalanan menjemput wanita pujaan hati. Perihal kepahlawanan selalu terselip di
antara kisah epos. Wajar,
etnik Sulawesi adalah suku pemberani, disegani dan mengilhami jiwa kestria. Maka, mereka berperan
besar dalam penyatuan Nusantara.
La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan
dunia, merupakan hasil penulisan berisi tangkapan makna perjalanan hidup Sureq
Galigo yang imajiner. Untuk
membaca manuskrip itu, pemerintah Netherlands
menyiapkan beberapa petugas. Naskah
dikeluarkan satu persatu dengan perlahan untuk dipersilakan membaca. Mereka menyiapkan bantal putih, lalu
meletakkan perlahan. Untuk membuka halamannya, petugas itu
yang mengerjakan, sehingga mempermudah kita agar tidak terjadi kerusakan. Perpustakaan itu terletak di bawah
sungai, suhu pada kamarnya juga telah di atur sehingga dapat memastikan bakteri tidak
menyerang manuskrip yang disimpan. Sepasang
mata menyorot di tiap gerakan apapun yang dilakukan.
Jennifer
W. Nourse, Parreanom, dan Barru menjelaskan pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik
itu sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi. Usia yang tua dan pernah menjadi bagian dalam kehidupan
suku Bugis ini merupakan epos
terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk
ketimbang epos
agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad
dan Odyssey yang hanya terdiri dari 16 ribu baris. Penyebarannya
melaui
tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di
Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua
praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu
bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra,
metrum (guru lagu dan guru wilangan),
dan alur.
LA GALIGO
Galigo
diperkirakan lahir pada abad
awal Masehi hingga
abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan rumpun bahasa Austronesia. Bukti
yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik
Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad
ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara jauh,
terutama Belanda. Lalu,
masuk ke perpustakaan Washington DC, pada abad ke-19 karya Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.
Struktur
Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologi yang menceritakan asal-usul kehadiran
manusia di bumi. Bagian kedua yang menceritakan sistem status yang sangat
penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis.
Epos La Galigo merupakan karya sastra yang
terpanjang di karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini
menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja
langit bernama La Patiganna. Sawerigading, seorang perantau juga
pahlawan yang gagah berani. La Galigo
sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan
mitos. Namun, La Galigo tetap dapat
memberikan gambaran mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa
negara Eropa, seperti Belanda,
Perancis, dan Amerika tahun 2004. Pementasan tersebut mendapatkan respon
yang positif The New York Times dan masyarakat.
La Galigo
dan Machiavelli
menarik didalami
dan dibandingkan
pikiran antara keduanya.
La Galigo penulis sastra dari Sulawesi Selatan, hidup sebelum abad ke-14. La
Galigo pujangga Bugis, hidup kira-kira hampir satu jaman dengan Machiavelli,
ahli politik dari Italia. Dibanding
ahli politik Eropa tadi, justru konsep tentang demokrasi telah lebih dahulu
dikenal melalui konsep La Galigo, yang hidup di masa kejayaan kerajaan tertua
di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Luwuk. La Galigo mencatat bahwa yang
tertinggi dalam kekuasaan yaitu adat (hukum), sedangkan penguasa itu hanya
pelaksana hukum. Hukum/adat ini menyebabkan seorang anak raja tidak otomatis
menjadi raja. Dan memang sistem demokrasi itulah yang diterapkan kerajaan Luwuk
di Sulawesi Selatan sejak sebelum abad ke-14. Bandingkan dengan ajaran
Machiavelli (di antaranya diterapkan Napoleon), bahwa kekuasaan itu mesti
dipertahankan dengan menggunakan dana dan senjata, yang mirip dengan prinsip
kediktatoran.
Isi epos
ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi.
Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal
berlabuh. Pusat pemerintahanpun yang terdiri dari istana dan rumah
bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Rumah Dewan (Baruga) yang
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang asing. Intinya laut
menjadi media yang sangat penting untuk berhubungan antar-kerajaan.
La
Galigo merambah Gorontalo, diungkapkan pada motif ornamen. Ornamen itu
diyakini mengandung makna oleh etnik Gorontalo, yang berujud payung, bintang,
matahari dan bulan. W. Schmidt menceritakan mitos di Indonesia
terutama wilayah Sulawesi, sebagai
motif kosmos (benda alam raya). Motif yang mengambil ide bentuk benda alam itu,
di jumpai
pada beberapa ornamen rumah tradisional. H. E. E. Hayes menjelaskan, bulan
sabit untuk kaum muslim merupakan pembakar semangat. Pejuang Aceh menggunakan
bulan sabit untuk berperang. Namun,
bulan
sabit dan bintang sesungguhnya bukan bagian daripada Islam dan bukan
lambang Islam. Keduanya berasal dari kepercayaan paganisme. Simbol itu digunakan sebagai lambang pasukan
Islam yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi
dalam perang salib pada abad ke-12 dan digunakan di masa Usmaniyah atau
Ottoman di Turki pada abad ke-18.
La Galigo
Sumber KITLV
Leiden
Pada epos itu diceritakan bahwa hutan
Sulawesi merupakan surga berkembang-biaknya populasi babirusa (Babyrousa)
dan burung maleo (Macrocephalon).
Adanya pohon rao (Dracontomelon dao) yang
terus menghijaukan hutan dengan spesies yang tak terdapat dibelahan bumi
manapun seperti monyet hantu (Tarsius tarsier). Makna burung motif maleo (Macrocephalon)
yang bertengger, merupakan sesuatu yang menyenangkan, simbol pengharapan suatu
kesejahteraan bagi penghuni rumahnya. Pengaruh mitos etnik Bugis di Gorontalo,
dijelaskan
Nourse, melalui
makna burung maleo yang telah menginspirasi pembuatan motif ornamen
rumah. Maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir
musim hujan menjelang musim panen padi. Telur
itu perlambang penting kesuburan dan kesehatan. Namun, cara burung meletakkan telurnya juga
tak kalah penting maknanya. Burung maleo hidup di dua alam, laut dan
darat, mewakili
penyatuan laut dan darat yang dibutuhkan untuk kesuburan padi.
*Sumber: Sebagian hasil riset Disertasi penulis.
Fendi Adiatmono
Lahir
dan
besar di perbukitan terpencil, kawasan Menoreh Kulon Progo Jogjakarta pada 18 Juli 1972. Mengenyam
pendidikan S1-S2 di ISI Yogyakarta, lalu menimba
keilmuan Kajian Seni S3 di UGM dan pada tahun 2008-2009 menimba keilmuan di Leiden University Netherlands.
Lalu pada
level yang sama PhD Arts di Asia University Malaysia. Seorang Dosen PNS
di Universitas Negeri Gorontalo 2002-2016, sebagai Pengajar Seni pada
Fakultas Teknik. Pernah mengajar selama satu tahun di Esa Unggul University bidang
Kreatifitas. Aktif menulis buku ilmiah seni dan budaya (Sembilan judul),
Menulis Riset, Mencipta Paten dan aktif berpameran Seni Kriya (Logam, Batu,
Kayu dan Batik) di Dalam dan Luar Negeri. Karya yang ditulis di Netherlands
adalah Weeskamer.
Data
Gambar
Sumber: KITLV
Leiden
Gambar Retna Kencana Colliq Pujié Arung
Pancana Toa Aisyah sangat mencintai dunia sastra.
Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua I La Galigo
yang terserak di beberapa kerajaan yaitu Goa, Tallo, Bone.
Sumber: Tropenmuseum Amsterdam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar